Berdasarkan hadist Rasulullah SAW tentang Rukun Islam,Syahadatain atau dua kalimat syahadat merupakan pilar pertama dan utama berdirinya bangunan Islam. Bangunan bernama Islam, mula-mula dibangun dengan dua kalimat syahadat ini, jika pilar ini roboh, roboh pula Islam.
Dua kalimat syahadat atau persaksian tersebut adalah bersaksi tidak ada tuhan yang disembah kecuali Allah SWT, dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad SAW itu utusan Allah (Rasulullah).
Persaksian bahwa tidak ada Tuhan yang berhak untuk disembah selain Allah subhanahu wa ta’ala dan persaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah tidak cukup hanya sekedar di lisan saja, namun lebih dari itu, seorang yang bersaksi haruslah mengetahui dan meyakini hal yang dia saksikan serta mengamalkan konsekuensi kesaksiannya tersebut. Jika ada seorang saksi yang berbicara dengan lisannya bahwa dia telah melihat sesuatu namun ternyata hal tersebut tidaklah benar alias dia hanya berbohong maka saksi seperti ini disebut saksi palsu. Demikian juga, jika ada orang yang mengucapkan kedua kalimat syahadat dengan lisannya, namun ternyata hatinya tidak meyakininya, maka orang ini adalah seorang pendusta.
Kalimat yang pertama dari dua kalimat syahadat ini, yaitu kalimat Laa Ilaha Illallah
bukanlah kalimat yang ringan dan sepele. Ada makna yang sangat dalam
dan konsekuensi yang sangat besar di balik kedua kalimat ini. Bahkan
Allah pun menjadi saksi kalimat Laa Ilaha Illallah ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
شَهِدَ اللّهُ أَنَّهُ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ وَالْمَلاَئِكَةُ
وَأُوْلُواْ الْعِلْمِ قَآئِمَاً بِالْقِسْطِ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ
الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Allah menyaksikan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang
berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan
orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada
Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (QS. Ali Imran: 18)
Kalimat Laa Ilaha Ilallah, sebagaimana penjelasan para ulama, memiliki makna:
لَا مَعْبُوْدَ حَقٌ إِلَا اللهُ
“Tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah selain Allah”
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِن
دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“Yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah
(Tuhan) Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari
Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha
Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al Hajj: 62)
Dari makna ini kita mengetahui adanya sesembahan selain Allah
subhanahu wa ta’ala yang disembah oleh manusia seperti kuburan, pohon,
para Nabi, malaikat, orang shalih dan lain sebagainya. Namun sesembahan
tersebut pada hakikatnya tidak berhak sama sekali untuk disembah dan
diibadahi karena yang berhak disembah dan diibadahi hanyalah Allah
subhanahu wa ta’ala.
فَمَا أَغْنَتْ عَنْهُمْ آلِهَتُهُمُ الَّتِي يَدْعُونَ مِن دُونِ
اللّهِ مِن شَيْءٍ لِّمَّا جَاء أَمْرُ رَبِّكَ وَمَا زَادُوهُمْ غَيْرَ
تَتْبِيبٍ
“Karena itu tiadalah bermanfaat sedikit pun kepada mereka
sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah, di waktu azab Tuhanmu
datang. Dan sembahan-sembahan itu tidaklah menambah kepada mereka
kecuali kebinasaan belaka.” (QS. Huud: 101)
Dalam ayat ini, Allah menyebutkan bahwa orang-orang musyrik memiliki
sesembahan selain Allah. Namun sesembahan itu sama sekali tidak dapat
memberikan manfaat pada mereka ketika datang azab Allah.
Oleh karena itu, sungguh suatu fenomena yang sangat menyedihkan
sekali ketika kita melihat ada seorang muslim yang sudah mengucapkan
kedua kalimat syahadat, namun dia masih melakukan berbagai macam bentuk
peribadatan kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala baik itu kepada
orang shalih, kuburan, jin penunggu dan lain sebagainya. Di antara
penyebab terjadinya hal ini adalah ketidaktahuan terhadap agama Islam
yang menimpa banyak kaum muslimin di zaman ini. Terlebih lagi tidak tahu
terhadap tauhid yang merupakan inti dari agama Islam.
Dalam kalimat لا اله إلا الله terkandung dua aspek yang sangat
penting. Yang pertama yaitu aspek peniadaan/negasi, hal ini tercermin
pada kata-kata لا اله (Tidak ada sesembahan yang berhak disembah) yang
berarti meniadakan dan segala macam bentuk peribadatan pada selain
Allah, apapun bentuknya. Para ulama mengistilahkan aspek pertama ini
dengan istilah An Nafyu (النفي). Sedangkan aspek yang kedua
yaitu aspek penetapan, hal ini tercermin pada kata-kata إلا الله
(kecuali Allah) yang berarti menetapkan bahwa seluruh macam bentuk
peribadatan hanyalah untuk Allah semata. Para ulama mengistilahkan aspek
pertama ini dengan istilah Al Itsbat (الإثبات).
Kedua aspek ini sangatlah penting untuk dipahami dengan benar oleh
seorang muslim yang ingin merealisasikan dua kalimat syahadat ini.
Karena, jika seorang muslim salah dalam memahaminya, maka ia akan salah
pula dalam merealisasikannya. Contohnya bisa kita lihat pada orang-orang
yang sekarang disebut dengan JIL (Jaringan Islam Liberal), sebagian
mereka (baca: Nurcholis Madjid jazaahullahu bimaa yastahiq) menafsirkan dan memaknai kalimat Tauhid dengan makna “tidak ada tuhan (dengan t kecil) kecuali Tuhan (dengan T besar)”.
Dengan tafsiran yang salah ini, mereka menyamakan seluruh Tuhan yang
ada yang disembah manusia. Ujung kesimpulan mereka, mereka mengatakan
bahwa Tuhan seluruh agama adalah satu hanya berbeda-beda dalam
penyebutannya. Semoga Allah membinasakan orang-orang seperti ini dan
menjauhkan kaum muslimin dari pemikiran seperti ini.
Kedua aspek ini pulalah yang telah dipahami oleh Nabi Ibrahim ‘alaihi salam Imam orang-orang yang bertauhid, bapaknya para Nabi dan Rasul. Allah berfirman ketika menceritakan perkataan Ibrahim ‘alaihi salam,
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاء
مِّمَّا تَعْبُدُونَ إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ
وَجَعَلَهَا كَلِمَةً بَاقِيَةً فِي عَقِبِهِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya:
“Sesungguhnya aku berlepas diri terhadap apa yang kamu sembah, tetapi
(aku menyembah) Tuhan Yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan
memberi hidayah kepadaku.” Dan lbrahim menjadikan kalimat tauhid itu
kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada
kalimat tauhid itu.” (QS. Az Zukhruf: 26-28)
Nabi Ibrahim ‘alaihi salam, menafikan seluruh sesembahan
yang disembah oleh kaumnya dengan mengatakan bahwa beliau berlepas diri
dari hal tersebut. Kemudian beliau menetapkan bahwa peribadatan beliau
hanyalah kepada Tuhan yang telah menciptakan beliau yaitu Allah
subhanahu wa ta’ala. Kemudian beliau menjadikan kalimat لا اله إلا الله
tersebut kekal untuk keturunannya.
Kemudian bagian kedua dari dua kalimat syahadat ini yaitu persaksian
bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Allah subhanahu wa ta’ala telah
menegaskan bahwa telah ada seorang Rasul di antara manusia ini yang
Allah utus, dan dialah Nabi kita, teladan kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
لَقَدْ جَاءكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri,
berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan
keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap
orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah: 128)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِّنْهُمْ يَتْلُو
عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ
وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُوا مِن قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul
di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka,
mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al Jumuah: 2)
Makna kalimat kedua ini adalah yang meyakini bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi wahyu oleh Allah dan meyakini beliau adalah benar-benar utusan Allah, serta beliau adalah penutup para Nabi (Syarah Arba’in An Nawawiyah Syaikh Shalih Alu Syaikh: hadits
kedua). Oleh karena itu, barang siapa yang berkeyakinan bahwa beliau
tidaklah diberi wahyu oleh Allah subhanahu wa ta’ala maka persaksiannya
tidaklah sah. Hal ini banyak kita saksikan di zaman sekarang, ada
orang-orang yang meragukan agama Islam. Mereka mengatakan bahwa Al Quran
dan Hadits hanyalah konsep
yang disusun oleh Muhammad dan bukan wahyu yang diturunkan oleh Allah
subhanahu wa ta’ala yang kemudian konsep tersebut dijalankan oleh para
sahabatnya, wal’iyadzubillah.
Barang siapa yang meyakini bahwa beliau tidaklah diutus untuk
menyampaikan sesuatu yang telah diperintahkan kepada beliau, maka
persaksiannya tidaklah sah. Demikian juga barang siapa yang menganggap
adanya Rasul dan utusan Allah setelah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
maka persaksiannya tersebut tidaklah sah. Sebagaimana diklaim oleh
sebagian orang yang mengatakan bahwa ada di antara kelompoknya yang
menjadi Nabi seperti Mirza Ghulam Ahmad (jazaahullahu bimaa yastahiq) atau Nabi-nabi kelas lokal seperti Lia Aminuddin (kafaanallahu ‘an syarrihaa) dan lain sebagainya.
Persaksian bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah memiliki
konsekuensi yaitu taat terhadap perintah beliau, membenarkan berita yang
beliau bawa, dan menjauhi seluruh larangan beliau dan kita beribadah
kepada Allah hanya dengan syariat yang beliau bawa. Syaikh Nu’man bin
Abdul Kariim Al Watr berkata dalam Taisir Wushul, “Taat
dengan perintah beliau yaitu menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika beliau memerintahkan kita. Karena taat pada beliau adalah
taat pada Allah dan karena perkataan beliau tidak berasal dari hawa
nafsu dan Rasulullah hanya memerintahkan kita dengan hal-hal yang
bermanfaat bagi dunia dan agama kita. Membenarkan berita yang beliau
bawa karena beliau adalah orang yang jujur dan dibenarkan dan karena
perkataan beliau tidak berasal dari hawa nafsu dan merupakan konsekuensi
beriman bahwa beliau adalah benar-benar Rasulullah adalah membenarkan
perkataan beliau. Menjauhi seluruh larangan beliau karena perkataan
beliau tidak berasal dari hawa nafsu dan beliau hanya melarang kita dari
hal yang tidak bermanfaat bagi dunia dan agama kita. Beribadah kepada
Allah hanya dengan syariat yang beliau bawa karena orang yang beribadah
pada Allah dengan syariat selain beliau maka dia telah melakukan bid’ah.
Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Barang siapa yang
beramal dengan amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan
tersebut tertolak.” (HR. Muslim)” (Taisir Wushul hal: 73).
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment